Suamigila.com
  • About
  • Novel
  • Contact

Cinta Tanpa Syarat

By Adhitya Mulya • November 3, 2015 • kids and parenting, life
cinta tanpa syarat
Share on Tumblr

Unconditional Love
Saat saya masih mengenyam pendidikan bangku kuliah adalah saat di mana buku 7 Habit of Highly Effective People oleh Steven Covey sangat populer. Era itu memang era buku motivasi menjamur. Seperti lazimnya banyak orang, saya pun ikit membaca. Kebanyakan dari isinya memang berguna. Tapi ada satu bagian yang pada saat itu saya kurang pahami – dan baru saya pahami 15 tahun kemudian. Bagian tersebut adalah sesuatu yang dia jelaskan sebagai ‘Unconditional love’. Cinta tanpa syarat.

Ekspektasi
Tidak semua dari kita memiliki anak namun kita semua pernah menjadi anak. Dan saat menjadi anak, kita faham benar akan ekspektasi. Sebagai anak, kita memaklumi bahwa orangtua kita memiliki ekspektasi. Sebagai orangtua, kita jelas memiliki ekspektasi pada anak kita. Mari kita akui, orangtua mana yang tidak ingin anaknya masuk UI? Masuk UNPAD? Masuk UGM? Masuk perguruan tinggi lainnya. Orangtua mana yang tidak ingin melihat anaknya sukses dalam arti dunia? Sukses bekerja, dan lain-lain. Mari kita akui, sebagai orangtua, selalu ada yang ingin kita banggakan dari anak kita. Tapi kemudian yang menjadi garis yang sangat tipis adalah, kita sebagai orangtua harus banyak mengkaji diri sendiri, apakah ekspektasi kita ini kita adakan demi kebaikan anak, atau demi ego kita sebagai orangtua. Karena percayalah, ketika anak berprestasi, orangtua sadar penuh bahwa prestasi itu baik untuk sang anak, tapi juga prestasi sang anak adalah sebuah jawaban dari pertanyaan yang membuat semua orangtua insecure. Pertanyaan tersebut adalah:
‘Apakah saya sudah mendidik dia dengan benar?’
Mari kita akui, semua orangtua sangat insecure dengan pertanyaan itu.
Singkatnya, di balik prestasi setiap anak, tertunggang rasa sekuritas orangtua.
Dari situ lah, timbul ekspektasi.
“IPK kamu harus 3.5! Jika tidak, akan susah dapat kerja.” Kita berkata itu dalam lisan sambil berujar dalam hati “Karena jika drop out, bapak malu.”
“Kamu harus jadi orang! Harus kaya!” Seakan-akan semua manusia yang tidak kaya, bukan orang. Kita berkata itu dalam lisan, untuk menambah semangat belajar sang anak. Sambil berujar dalam hati “Setelah 30 tahun hidup kondisi susah, bapak hanya tahu 1 ukuran dalam menjadi orang, dan ukuran itu adalah uang.”

Apakah salah memiliki ekspektasi? Tentu tidak. Seperti yang dijabarkan tadi, semua orangtua ingin anaknya sukses karena suksesnya anak adalah parameter suksesnya pendidikan sang orangtua. Pertanyaan berikutnya adalah, sejauh apa dan bagaimana kita sebaiknya memberikan ekspektasi itu.

Dari perspektif Orangtua
Saya menulis ini tidak untuk menghakimi mana approach yang benar atau mana yang salah. Semua orangtua sayang pada anaknya dan percaya bahwa apa yang mereka sedang/telah lakukan, adalah jalan yang benar. Tapi coba kita lihat dalam keseharian kita, dan ukur berapa banyak kita mendengar cerita-cerita di bawah.
Tersebutlah sebuah keluarga – terdiri dari bapak, ibu dan anak. Sang bapak selalu mementingkan prestasi sekolah.
“Pokoknya, anak bapak, nilainya harus 100!”
Di saat sang anak mendapat nilai 56, sang bapak akan membuat anak merasa bersalah, “Liat nih, bapak dan ibu udah capek-capek kerja. Banting tulang menabung untuk sekolah kalian. Masak iya, kalian menyia-nyiakan semuanya.”
Di saat sang anak mendapat nilai 100, sang bapak akan menggunakan kalimat pamungkas, “Nah, itu baru anak bapak.”
Di saat sang anak kembali mendapat nilai buruk, sang bapak akan mengeluarkan kalimat pamungkas lain, “Itu teman kamu pada bagus nilainya. Kamu kok nggak bisa?”
Di saat nilai-nilai sang anak menanjak ke atas, sang bapak akan mengeluarkan kata-kata dengan menjabarkan masa depan sang anak “Ayo, kamu harus bisa. Masuk sekolah unggulan. Kalo kamu masuk sekolah unggulan, kamu akan dapat masuk universitas unggulan. Dari sana kamu akan mudah dapat pekerjaan.”
Banyak dari kita yang tumbuh dalam kondisi seperti ini. Atau, kita sebagai orangtua, berusaha memotivasi anak-anak kita seperti ini. Masalahnya, kita sebagai orangtua jarang mencoba melihat dari perspektif sang anak.

Dari Perspektif Anak
Seorang teman kuliah dulu, adalah anak dari seorang dosen yang pintar. Di tingkat 1, saat dia mengerjakan ujian dan tugas sendiri, nilai yang dia dapat adalah C dan D. Ya sudah lah, mau dikata apa lagi, tidak semua anak sepintar orangtuanya. Pun tidak semua orangtua, sepintar anaknya. Yang terjadi di 3 tahun berikutnya adalah perubahan sikap. Sang anak menghalalkan segala cara untuk mendapatkan A. Mencontek kiri kanan saat ujian. Megcopy paste tugas mentah-mentah, yang penting mendapat nilai yang naik. Begitu seringnya dia mencontek, sampai beberapa teman khawatir, jika suatu saat dia diminta membangun jembatan, jembatan tersebut akan ambruk. Ada beban mental dan ekspektasi yang besar yang tertumpu pada dirinya. Bapak saya pintar, jangan sampai saya bikin malu. Apakah semua anak dosen seperti ini? Tentu tidak. Ada teman kuliah lain yang juga anak dosen, dia bersinar seperti sang ibu dan dia mendapatkan semuanya dengan tidak mencontek.

Ada teman kuliah yang orangtuanya berada di garis yang dapat dikatakan, sangat berjuang. Ada ekspektasi dari orangtua agar sang anak dapat hidup lebih baik. Pun ada ekspektasi dari dalam dirinya, bahwa dia harus lebih baik dari orangtua. Cara yang ditempuh, sama mencontek. Apakah semua anak dari keluarga yang berjuang, seperti itu? Tentu tidak. Ada lebih banyak teman kuliah yang sama seperti dia, tapi belajar dengan baik dan benar.

Ada seorang teman. Dia adalah seorang ayah dari anak berusia 8 tahun. Dia berbagi cerita. Pada saat anaknya mendapat nilai 100, dia selalu menepuk bahu sang anak
“Itu baru, anak bapak!”
Dan di saat sang anak mendapat nilai buruk, dia buat anaknya merasa bersalah,
“Bapak capek-capek kerja agar kamu bisa belajar. Ayo dong kamu harus dapat nilai 100.”
Suatu hari sang anak mendapat nilai 60. Sang anak menangis. Sang ayah mencoba menenangkan sang anak. Dan di saat itu, barulah sang anak bertanya.
“Ayah, jika saya tidak mendapat nilai 100, apakah ayah masih sayang sama aku?”

Apa Bahayanya
Terlalu sering berkata ‘Itu baru anak bapak’ pada saat berhasil, akan menimbulkan persepsi bahwa sekalinya sang anak gagal, anak berpikir, saya tidak layak menjadi anak kita.
“Anak bapak gak ada ya, yang bodoh…”
Saat kita menanamkan ini pada anak, apakah kita sudah yakin? Jika pun mungkin untuk berkata begitu pada seorang anak, kita harus bertanya, apakah saat kita membuat mereka, kita sendiri mengonsumsi makanan bergizi? Apakah saat kita mengandung mereka, sang ibu selalu makan makanan yang bergizi? Apakah sewaktu dia batita, kita sudah menstimulasi otak mereka? Yang ada, kemungkinan besar bodoh atau tidaknya anak kita, adalah hasil didikan dan asupan kita juga (nurture).
Pun sama berbahayanya perkataan, ‘Bapak ini capek-capek kerja untuk kalian….’ karena, mari kita akui, terlepas dari anak kita pintar atau bodoh, sudah hukumnya dan pantasnya kita sebagai orangtua mencari banting tulang peras keringat cari nafkah. Apakah perlu menekankan semua ini pada anak umur 8 tahun? Mungkin jika sang anak berusia 25 tahun, sudah 7 tahun terlalu santai dan terancam drop out kuliah, ya, itu sangat pantas diomongkan. Tapi pada anak umur 5, 6, 7 tahun?
Pun sama berbahayanya membandingkan dengan anak-anak lain. “Itu lihat, anak-anak tetangga mamah pada ranking semua. Mamah malu kalo ditanya kamu rankingnya berapa.” Ketika kita membandingkan anak kita, sudahkah kita yakin bahwa semua set up dan lingkungan anak-anak, sama? Siapa tahu mereka investasi di les tambahan, dan kita tidak. Siapa tahu bapak-ibunya memang sudah memiliki IQ > 130, sedang IQ kita sendiri lumayan pas-pasan. Siapa tahu di rumah mereka tidak dibolehkan nonton TV dan harus belajar minimal 4 jam sehari, sedangkan kita tidak memiliki rezim seperti itu. Siapa tahu anak-anak tetangga memakan daging bebas hormon dan sayur bebas pestisida yang dibeli di pasar yang mahal, sedangkan kita selama ini belanja di pasar biasa tanpa sadar bahwa bahan makanan yang kitaa beli, sangat berpengaruh pada kecerdasan anak. Sudahkah kita menelaah ini semua sebelum kita melakukan perbandingan?
Mungkin malah beberapa faktor di mana, kita ternyata belum menjadi orangtua yang cukup pintar, untuk layak menuntut atau membuat ekspektasi pada anak-anak kita bahwa mereka harus pintar. Kita semua tahu bahwa cara terbaik membandingkan seorang anak adalah membuat dirinya berkaca dan mengukur, apakah dia sudah lebih baik dari dirinya kemarin? Atau mungkin, cara yang cukup logis diterima seorang anak adalah, mengajak dia meihat, apakah dia sudah lebih baik dari rata-rata orang seumuran dia?
“Dik, tau gak, biasanya anak-anak yang udah kelas 1 SD, udah bisa lho cebok sendiri”
Adalah pendekatan yang jauh lebih masuk akal seorang anak daripada,
“Itu anak tetangga udah bisa cebok sendiri. Masak kamu nggak?”

Pun jika ingin sedikit ambisius.
“Soal matematika ini adalah materi anak kelas 5. Kamu kan baru kelas 4 nih, gimana, mau nyoba gak? Kalo salah ya udah, namanya juga kelas 5. Tapi kalo bisa, kan keren banget ya Kak?”

What to Do?
1.    Setiap orangtua, wajar untuk memiliki ekspektasi. Setiap anak, wajar untuk menerima ekspektasi. Dalam porsi yang sehat, ekpektasi kita menjadi motivasi mereka. Dan sewajarnya, ekspektasi diberikan sejalan dengan pendidikan ahlak. Agar sang anak berusaha memenuhi ekspektasi itu, tidak dengan menghalalkan segala cara.

2.    Menunjukkan Cinta tanpa Syarat. Setelah 15 tahun, cerita teman saya baru menyadarkan saya akan pentingnya cinta tanpa syarat. Tidak perlu nilai 100 untuk menjadi syarat anak kita mendapatkan kasih sayang, peluk dan cium orangtua. Tidak perlu ranking 1 atau masuk sekolah atau universitas unggulan, untuk mereka mendapatkan tepukan bahu dan perkataan ‘itu baru anak bapak.
Saat anak-anak kita ujian, tatap mata mereka dalam-dalam dan berkata
“Bapak lihat kamu belajar keras sebulan terakhir. Usaha kamu sudah baik. Apa pun  hasilnya nanti, bapak tahu, itu sudah usaha terbaik kamu. I dont love you because you’re perfect. I love you because you to try your best to be perfect. Sekarang, berikan yang terbaik dalam ujianmu ya.”

3. Kita ganti ekspektasi kita dengan realitas.

“Nak, kamu kan jarang nih masuk 10 besar. Bentar lagi mau kuliah. Ni bapak kasih tau ya. jaman bapak, bapak saingan cari kerja sama 7 milyar orang. Jaman kamu, nanti kamu harus bersaing 9 milyar orang. Bapak sayang kamu apa adanya. Kamu mau jadi orang biasa, mau jadi orang pintar, kamu tetap anak bapak. But it really, really, really, really, really makes sense bagi kamu untuk serius belajar. Serius mikirin masa depan kamu.”
“Bapak di sini. kamu sukses, kamu gagal, bapak tetap di sini, ada untuk kamu. But It really really makes sense untuk kamu menggerakkan diri kamu untuk siap di masa depan. Demi kamu sendiri.”

#adhityamulya#parenting#sabtubersamabapak
Tweet
24
Imbalan Untuk Anak
Life Skill

About the Author

Adhitya Mulya

You Might Also Like

  • MNC Living – Parenting 2016.04.27

  • depan parent stories

    Bedah Buku Parent Stories di KPK 2016.04.22

  • cover depan parent stories

    Parents Stories: Membesarkan Anak yang Berdaya

  • IMG_20160222_175630

    Membesarkan Anak yang Berdaya

24 Comments

  • Reply ripai November 3, 2015 at 7:30 am

    thx kang utk sharingnya, sangat bermanfaat buat orangtua muda seperti saya..:)

  • Reply juliancohasibuan November 3, 2015 at 8:03 am

    pagi ini sangat menyegarkan membaca tulisan kang adhitya. nuhun :)

    • Reply Adhitya Mulya November 3, 2015 at 9:29 pm

      Thanks for reaidng, Julian.

  • Reply Dita November 3, 2015 at 9:02 am

    Awww akang makasih banget udah menulis ini. Beberapa minggu ini lagi down karna baru lulus dan cum laude pun enggak. Padahal dari jaman SD, SMP, SMA selalu bisa bikin orang tua bangga karna berprestasi. Sekarang mereka duduknya pas wisuda jadi kayak rakyat biasa, akunya gak bngerprestasi lagi :(

    Tapi dengan membaca ini aku jadi punya sudut pandang baru tentang hidupku di masa depan. Thanks for sharing :))

    • Reply Adhitya Mulya November 3, 2015 at 9:29 pm

      Terima kasih ya Dita, udah baca.

  • Reply Trias November 3, 2015 at 10:01 am

    Keren banget tulisannya, Kang! Sungguh membuka mata :)
    Hatur nuhun!

    • Reply Adhitya Mulya November 3, 2015 at 9:27 pm

      Thanks for reading, Trias.

  • Reply indira November 3, 2015 at 12:33 pm

    anakku baru umur 4 tahun, aku coba memotivasi dia.. menurutku kalimat yg aku pake make sense dan ga kepanjangan. tapi dia terlihat bingung..hahah kayaknya kalimatku gak pas.
    gimana ya contoh kalimat yang pas dan mengena?

  • Reply gumi November 3, 2015 at 5:57 pm

    Teringat perkataan ayah teman saya:
    Nak, masa depan kamu, kamu yg pilih sendiri. Bapak dan Ibu suatu saat bisa meninggalkan kamu entah meninggal atau kamu menikah.

    Langsung temen saya rajin belajar :)..

    • Reply Adhitya Mulya November 3, 2015 at 9:26 pm

      Thanks for sharing ya Gumi.

  • Reply yunitacaroline November 4, 2015 at 12:31 pm

    Makasih sharingnya, mas Adit.
    sungguh bagian terakhirnya itu harus dipraktekkan .
    apapun yg terjadi sama anak, maka ortu akan tetap ada untuk mendampingi. tapi ortu juga belajar utk melepaskan anak utk bisa belajar hidup mandiri

  • Reply Eksi November 4, 2015 at 4:19 pm

    After almost 4 years of being a parent, saya sadar bahwa yang Cinta nya Tanpa Syarat itu sebenarnya anak ke orang tua nya. Karena setelah dimarahin, disayang, dibeliin mainan, dilarang ini itu, in the end they’re the ones who love us unconditionally. Di mata mereka terpancar cinta yang luar biasa dan tanpa kondisi. Tanpa melihat apakah ibu bapaknya kaya raya, tanpa melihat apakah setiap hari berhasil dibelikan es krim. The purest love.

    • Reply Adhitya Mulya November 4, 2015 at 10:43 pm

      Hi Eksi, iya benar ya. Masukan yang sangat bagus. Terima kasih ya.

  • Reply Niar Ningrum (@niar_cilukbaa) November 13, 2015 at 3:23 pm

    Paling suka baca tulisannya bapak satu ini, baca novel bikin nagih, jadi sering kepoin blog nya bapak sekarang.

  • Reply gangan januar November 13, 2015 at 8:16 pm

    seneng sama tampilan barunya, cuma spasinya kok banyak yang ilang ya.

    • Reply Adhitya Mulya November 13, 2015 at 8:35 pm

      Haha thanks. Maksudnya spasi banyak ilang gimana ya?

  • Reply Nazamudin November 16, 2015 at 9:57 am

    Makasi kang artikelnya..sangat menginspirasi saya utk menjadi ortu yang lebih baik…

    • Reply Adhitya Mulya November 17, 2015 at 8:39 am

      yre welcome. :)

  • Reply Jefri November 16, 2015 at 2:21 pm

    Amazing kang Adhit, saya salah satu fans kang Adhit sejak novel jomblo, gege mengejar cinta, dan sabtu bersama bapak.

    Real Life -> dari jomblo, mengejar cinta, sampai skrg punya anak dua dan butuh ilmu parenting. Dan inspirasi saya juga dar tulisan Kang Adhit

    Tulisan Akang selalu inspiring. Josss

  • Reply bunda rizma November 19, 2015 at 11:09 am

    wah baru liat lagi blognya, udah ganti kompakan sama teh ninitnya. tulisannya lagi lagi baguuus. aku share ya kang adit ^^
    makasiih

    • Reply Adhitya Mulya November 19, 2015 at 12:16 pm

      Silakan..

  • Reply Neni Setyoreni December 30, 2015 at 12:04 pm

    Suka banget ma artikelnya. Ijin share di blog saya yah. Makasih..

    • Reply Adhitya Mulya December 30, 2015 at 4:45 pm

      silakan.

  • Reply Randi February 1, 2016 at 11:21 am

    wah, so inspiring kang tulisannya. Dimana saya adalah satu diantara sekian banyak anak yang “kena” ekspektasi orang tuanya. Tapi mungkin bisa dilihat lebih ke bagaimana si anak menanggapi juga ya kang. Ibu saya single parent, ayah saya (dulu) ga peduli sama sekali. Jadi ketika ibu saya bilang “Mama udah capek2 banting tulang ke kebun, sawah, dan lain2. kamu jangan sampai kecewain mama ya”. Hebatnya Ibu saya, beliau ga hanya ngomong. Sekaligus membuktikan bahwa kerjaan ibu saya memang berat. Saya diajak ke sawah, ke kebun, dan baru 1 jam udah capek, ga kuat. Sementara ibu saya masih kuat. dari sana baru sadar bahwa memang ibu saya kerja keras untuk saya. Alhamdulillah walaupun sekarang belum sukses berat, masih bisa bikin ibu saya bilang “Mama bangga sama kamu” :D. Keep posting positive thought ya kang.

Leave a Reply Cancel Reply

Subscribe & Follow

Recent Comments

  • sibakua on Catatan Mahasiswa Gila – Preorder
  • noviyan darmawan on Swasembada di Indonesia
  • Arma on Swasembada di Indonesia
  • Nadya on Swasembada di Indonesia
  • Aswinda Utari on Sabtu Bersama Bapak Filming (3)

Categories

  • aldebaran
  • Arzachel
  • books
  • Events
  • finance
  • gua
  • humor
  • islam
  • istribawel
  • kids and parenting
  • life
  • love
  • Mencari sesuap nasi (halaaaah)
  • movies
  • politics
  • product review
  • project
  • Short Stories
  • social
  • studies
  • travel
  • Uncategorized
  • work

Archives

Made with in Seattle

© 2013 Solo Pine Designs, Inc. All rights reserved.