Anjrit, berat ye judulnye hehehe….Anyway.

Di kantor, salah satu pekerjaan yang gue putuskan untuk lakukan, meski tidak dibayar adalah, menjadi mentor anak-anak muda dan anak-anak baru di kantor. Gue memutuskan untuk menjadi mentor anak-anak baru karena here is the thing about newbie: they don’t know what they don’t know. But we (senior people) do.

Gue inget jaman dulu saat gue sendiri masih jadi newbie di kantor, memiliki sebuah mentor itu sangat berharga. Belajar sesuatu tanpa harus merasakan pahitnya dulu. Adaptasi jadi menjadi lebih cepat. Know what to know. In my lifetime, ada 6 mentors yang sedikit banyaknya shaped me into the person I am today. So, my being a mentor, is sort of a my way of paying things forward.

Anyway, one of my mentee was being restless…and she said ‘I want to be something. But I don’t know what it is…’

My reply was this:

Be something, is always good. Keinginan/ambisi untuk menjadi/mencapai sesuatu, membantu kita termotivasi setiap hari. Itulah yang membuat kita bangun tidur dengan semangat, dan rela menghadapi macet-macetnya Jakarta yang – mari kita akui – tiap hari makin berak aja rasanya (pardon my french).

Awalnya, 15 tahun yang lalu, gue juga sama seperti dia. Ingin menjadi sesuatu. Ingin menjadi master dari sebuah ilmu. Siapa sih yang tidak ingin jadi VP di Citibank? Director di Maersk? Chief Engineer di Schlumberger? We all want that. We all want that title. Bukan karena uangnya, tapi orang-orang ambisius, ingin mencapai sebuah level yang hanya dapat dicapai jika kita benar-benar jago di bidangnya.

But then, sejalan dengan waktu, gue juga belajar agama. Gue belajar dalam hidup ini, what i am, matters less. Yang penting adalah bahwa gue hidup di dunia ini sedemikian sehingga pada saat gue meninggal nanti, gue dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan Munkar dan Nakir di alam kubur.

Tapi di sini kemudian orang-orang mulai kehilangan ambisi hidupnya. Ya udah yang penting kuatin agama. Gak usah ngejar dunia. Hmmm….

What to do?

Adalah bagus jika kita dapat menggabungkan keduanya untuk tujuan yang sama. Tujuannya satu, dapat menjawab pertanyan dalam kubur. Caranya?

Sama sekali tidak ada yang salah dengan menjadi orang yang berguna di jalan Allah. But you know what, sama sekali tidak ada yang salah menjadi VP sebuah bank. Sama sekali tidak ada yang salah dengan menjadi director sebuah perusahaan. Di kedudukan yang tinggi, terdapat kekuatan uang/rizki. Dan kekuatan uang/rizki dapat kita pakai untuk membantu mereka yang membutuhkan. Kita ambil contoh 3 orang. A, B dan C.

Pria A, menjadi pengusaha terkenal/menjadi VP sebuah bank. Kaya raya. Dia tidak peduli dengan akhirat. Saat di alam kubur nanti, errh, mungkin akan bermasalah.

Pria B, memutuskan untuk memberikan hidupnya di jalan Allah. Dia bilang pada anak istrinya, siap-siap susah. Yang penting, kita selalu berada di dalam jalan Allah. Punya uang, kita berikan pada mesjid. Punya uang, kita bantu 10 orang. Etc etc.

Saya akui, contoh yang saya berikan, A dan B, adalah contoh 2 manusia yang ekstrim. Tapi beneran lho. Mereka semua ada dalam kehidupan kita. Kita kenal orang seperti A. Kita kenal orang seperti B.

Apakah B lebih baik dari A? Jawabannya, belum tentu. Pikirkan logika ini: Pria B memutuskan untuk berguna bagi orang banyak, tapi apakah pria B sudah menjalankan kewajibannya sebagai kepala keluarga? Sementara dia berguna bagi orang banyak, apakah dia sudah memberikan nafkah yang wajar dan cukup kepada orang-orang yang sudah jelas menjadi tanggungannya? Apakah ini fair?

Sebaik-baiknya muslim adalah mereka yang berguna bagi orang lain.

Tapi definisi orang lain ini, ada hirarkinya.

Pertama, diri sendiri.

Kedua, keluarga yang menjadi tanggungan kita

Ketiga, orang-orang yang membutuhkan.

Yang beresiko dari kasus pria B adalah, dia bisa melewatkan hirarki kedua dan langsung lompat pada ketiga.

Kita semua bebas menentukan pilihan hidup. Gue gak akan bilang pria B ini salah. Tapi gue pribadi saat memiliki rizki, akan memastikan anak istri gue cukup dalam level yang beralasan – sebelum gue memutuskan untuk membantu orang lain. Gue selalu pastikan anak istri cukup dan tidak berlebih, sisanya gue akan berusaha berguna bagi sebanyak mungkin orang lain, sebisa gue. Karena gue tidak ingin menjadi pria di alam kubur yang bisa bilang ‘Saya berguna bagi 100 muslimin, tapi anak istri saya, saya biarkan lapar…’

Gue kenal dengan salah satu pria B. Seumur hidupnya dia sangat hemat kepada anak istri. Sampai puluhan tahun, anak istri hanya punya TV kecil dan mobil tua. Dia sibuk membantu sanak saudara di kampung. Padahal di kampung, adik-adik yang dia tolong, memiliki flat screen TV 42″ dan mobil yang mentereng. Memang tidak wajib punya TV besar. Tidak wajib punya mobil bagus. Tapi sampai anak istrinya cekak banget sedang sanak saudara dia manja? Apakah dia menjadi kepala keluarga yang adil? Hmm…

Sebut pria C. Dia berambisi menjadi Director. Mungkin terlihat duniawi, tapi ternyata alasannya sangat islami. “Dit, kalo gue jadi GM doang, gue cuman bisa bangun musala. Gue cuman bisa santun anak yatim. Kalo gue jadi director, gue bisa bangun masjid. Dan panti asuhan sekalian.”

Menurut gue, ini yang sinergis. Dia menjalankan hidup yang dengan pijakan dan arahan yang jelas. Meraih duniawi setinggi mungkin agar dapat membelanjakan sebanyak mungkin hasilnya di jalan Allah.

Pelajarannya ada Empat:

Pertama, It doesn’t matter what we do. Yang penting adalah, kita hodup di sini untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam kubur.

Kedua, memang ambisi duniawi tidak akan ditanya dalam kubur. Let’s face it, kita gak akan ditanya apakah kamu sudah menjadi VP sebuah bank saat hidup. But you know what…tapi itu bisa jadi tiket kita untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di dalam kubur. Mungkin pria B dengan syukur dapat menjawab: saya telah berguna untuk 10 orang seumur hidup saya. Tapi mungkin pria C, dengan ambisi dia membangun mesjid dan panti asuhan, dia dapat dengan syukur menjawab: saya telah berguna untuk 1000 orang.

Ketiga, tidak perlu harus menjadi kaya kok untuk berguna di jalan Allah (dan dapat menjawab pertanyaan kubur). Selagi jadi asisten manager, bisa kok ambil 1 anak asuh. Ke panti asuhan, pilih 1 anak, dan bayarkan pendidikan dia. 6 tahun. Jadi manager, 2 anak asuh. Jadi GM, 10 anak asuh. Jadi director, lu bangun tuh panti asuhan. Bisa kan? Apa yang coba yang menahan diri kita? Gak ada. dengan begini, kita sudah berguna bagi orang lain, DAN keluarga yang menjadi tanggungan wajib kita, tidak kita korbankan.

Keempat, Sebelum kita berguna bagi 1000 orang, ada baiknya kita berguna bagi keluarga kita. Gak lebih, gak kurang. Cukup dan beralasan. Dan sebelum kita berguna bagi keluarga kita, Kita harus dapat berguna untuk diri kita sendiri.

Caranya? Ya kerja keras, kerja cerdas, dan kerja ikhlas.