Suamigila.com
  • About
  • Novel
  • Contact

Differentiate or Die

By admin • August 16, 2013 • work
Share on Tumblr

Differentiate or Die – a marketing case study

Sekali-kali gue nulis tentang marketing boleh ya, secara gue 5 tahun kerja di bidang marketing B2B. Anyways, posting ini terinsiprasi dari sebuah buku. bagi gue, buku yang baik adalah buku yang member impact pada hidup gue. Dalam konteks, Informasi yang gue baca berhasil mengubah mindset, atau perilaku gue. Salah satu buku itu adalah Differentiate or Die, oleh Jack Trout & Steve Rivkin. Menurut gue, buku ini penting untuk dibaca oleh mereka yang ingin menjalankan atau membangun bisnis sendiri.

 

Kebutuhan yang Tidak Berubah

Setelah jaman berkembang, kebutuhan manusia sebenarnya gak banyak berubah. Sandang, pangan papa, hiburan, rohani, pendidikan dan sex. Yang terus berkembang hanyalah metode penjualan dari kebutuhan-kebutuhan ini. Contoh paling gampang aja, kalo dulu beli buku harus ke toko buku, sekarang bisa beli online. Tinggal tunggu sampai depan rumah. Atau beli di kindle. Film dulu hanya nonton di bioskop, sampai akhirnya ada rental. Video. Kemudian berubah bentuknya jadi VCD. Kemudian DVD, dan sekarang mengarah ke digital. Sepanjang waktu itu, orang butuh hiburan. Yang berubah, seperti yang gue sudah jelaskan, hanya metode penjualannya. Iya kan?

Sampai titik ini, setuju ya, bahwa kebutuhannya tidak banyak berubah. anyaHanya metode bagaimana kita menjual produknya yang berubah-ubah.

Dalam kasus rental film ini, gue punya cerita. Dulu, waktu gue kecil, semua orang punya video. Deket rumah gue juga ada tuh tukang sewa video. Namanya Abeng. Tiba saatnya pelan-pelan dunia dikenalkan dengan VCD. Tadinya orang-orang gak ngerti VCD. Abeng santai-santai aja. Dia emang gak terlalu tech savvy. Ketika ada 1 orang buka sewa VCD, Abeng gak takut. Tapi malang bagi Abeng, sedikit demi sedikit, jaman mulai modern dan semua orang mulai punya VCD player. Rental VCD di tempat lain jadi ramai dan rental video Abeng jadi sepi. Perpindahan medium hiburan ini membuat Abeng mulai bangkrut. Abeng dengan cepat belajar tentang VCD. Cari penyalurnya etc etc. Abeng dengan cepat mulai rental VCD juga. Dan tidak lama, porsi VCD yang dipajang lebih banyak. Sampai akhirnya video hilang sama sekali. Abeng termasuk rental yang lebih dulu konversi ke VCD. Oleh karenanya, dia mampu menyewakan VCD dengan agak mahal. Selang 1-2 tahun, pengusaha lain kesiangan bangun dan baru buka rental VCD juga. Di titik itu, keuntungan Abeng mulai menurun, but hey, Abeng sudah menikmati 1-2 tahun keuntungan yang besar gara-gara dia adaptfif dan cepat berubah.

Pembelajaran:

  1. Apa yang konsumen minta tidak pernah berubah. Mediumnya sering berubah. Sebagai penguasaha, adalah penting bagi kita untuk beradaptasi dengan perubahan-perubahan medium ini.
  2. Early Birds gets the worm. Pengusaha-pengusaha yang mampu cepat beradaptasi, mendapat posisi awal di market dan dapat mengambil untung lebih banyak, setidaknya sampai ada pengusaha lain yang mampu meng-copy bisnisnya.

 

Barrier of Entry – Commoditised Market

Dalam dunia bisnis, salah satu pilar yang penting dalam business survival adalah barrier of entry dari business itu. Untuk menjelaskan bagaimana barrier of entry memainkan peranan dalam bisnis kita, kita coba lihat kasus lain. Kalian pernah gak pergi ke Bandung lewat Padalarang? Di Padalarang, kalian akan menemukan bahwa di sepanjang jalan Padalarang, kita lihat di kiri dan kanan pada jual tape kan? Kios penjual tape gak ada abis-abisnya. Ya kan? Mari kita analisa kenapa ini dapat terjadi.

 

Tesebut lah Kang Asep. Suatu hari kang Asep punya ide, “ah gue jual tape ah!” Dengan mudah, Kang Asep ambil singkong id halaman belakangnya dan dia buka kios pinggir jalan. Ternyata, banyak pengguna jalan yang laper dan beli tape dari kang Asep.

Tetangga-tetangga kang Asep pada mikir, “gila si Asep. Hebat ya, untung besar dia jualan tape.”

Kemudian, Kang Asep besar kepala dan mulai cerita-cerita bagaimana dia menajalnkan bisnis jualan tapenya dengan sukses. Dengan tekun, Ceu Kokom, tetangga kang Asep mendengarkan. Setelah mendengarkan Kang Asep, Ceu Kokom tiba-tiba kepikiran.

“Eh, bentar dulu. Sebenernya susah gak sih jualan tape tuh? Singkong? Gue ada. Kios? Gue bisa bikin. Lahan jualan? Epan rumah aja bisa. DAMN! GUE BISA JUALAN TAPE JUGA!!” Nah, segera lah Ceu Kokom melakukan hal yang sama. Ambil singkong, buka kios, dan jualan.

 

Tidak lama kemudian, semua orang belajar bahwa barrier of entry untuk mendulang rejeki dari jualan tape itu tidak tinggi. Apa yang terjadi? Akhirnya tape hanya menjadi commodity saja. Tape jualan kang Asep dan Ceu Kokom tidak ada bedanya dengan 100 penjual tape lain. Pengunjung bisa parker di mana saja dan akan mendapatkan tape dengan kualitas yang sama.

Pembelajaran:

  1. Bisnis yang memiliki barrier of entry yang rendah, akan mudah dikopi orang. Pada akhirnya, akan menjadi commoditised market tanpa ada pembeda. Dengan kata lain, bisnis yang memiliki barrier of entry yang rendah.
  2. Hati-hati dalam berbagi ‘Kiat Sukses’ di tabloid atau seminar. Bijak lah dalam berbagi ilmu. Jika bisnis anda yang sukses ini sebenarnya memiliki barrier of entry yang rendah, maka tinggal tunggu waktu saja sampai bisnis anda dikopi plek ketiplek.

 

Differentiate or Die

Nah kita tiba di diferensiasi produk. Apa sih diferensiasi produk ini? Ketika sebuah produk dideferensiasi, dia menjadi beda dari yang lain. Dan yang seperti ini, biasanya yang dicari. Hal-hal yangmembuat produk terdiferensiasi itu ada banyak hal.

Pertama: modifikasi dari produknya.

Contoh yang dapat kita pelajari adalah pengusaha restoran steak. Dari beberapa restorans teak, hanya satu dua yang ngehits banget. Itu karena dia berhasil mendiferensiasi steak dia dengan resep yang rahasia.

Contoh lain adalah restoran ayam goreng. Gue masih inget waktu kecil, ayam goreng mbok berek itu gak ada saingannya. Resepnya juga rahasia. Dan mereka juga punya pengunjung loyal. Sekarang kenapa mbok Berek sepi banget? Mbok Berek sepi bukan karena resepnya mudah dikopi. Tidak Resepnya tetap menjadi satu hal yang membuat produknya berbeda di market. Hanya saja, industry kuliner sudah sangat berkembang sehingga konsumen punya pilihan mau makan sushi, ayam goreng, fastfood atau steak. Jika kita memberikan survey pada 1000 orang untuk memilih antara sushi, steak, ayam goreng dan fastfood, mungkin sushi yang jadi juara. Tapi jika memberikan survey yang meminta orang untuk memilih antara ayam goreng fatmawati, ayam goreng wong solo, ayam goreng mbok berek dan ayam goreng saur kuring, mungkin mbok berek masih yang teratas. Produknya masih terdiferensiasi dengan baik. Sedikit catatan untuk mbok berek, saingan dia dalam gorengan ayam adalah ny Suharti. Ketika disandingkan dengan ayam goreng ny suharti, kedua ayam ini sekilas terasa sama. Di titik ini lah ayamnya ter-commoditised.

do my book report

 

Kedua: Memanfaatkan Barrier of Entry yang Tinggi

Seorang pengusaha dapat saja memanfaatkan barrier of entry yang tinggi untuk menjaga kompetisi. Contohnya, adalah lokasi. Karina punya resep rahasia keluarga berupa ayam kukus, dan dia punya uang 2 milyar. Dengan modal 2 aspek ini, dia punya pilihan:

  1. Buka restoran ayam kukus di blok M, harga toko = 1.8 M.
  2. Buka restoran ayam kukus di SCBD, harga toko = 2.3 M.

Karina mulai analisa. Jika buka restoran di blok M, maka dia akan bersaing dengan 300 restoran lain. Tapi jika dia buka restoran di SCBD, dia akan bersain dengan 60 restoran lain. Tidak mudah untuk buka restoran di SCDB but you know what, marketnya gede di sana. Dan jumlah restorannya yang bersaing juga gak terlalu banyak. Sekarang tinggal harus yakin atau tidak bahwa ayam kukusnya akan menjadi kegemaran orang-orang atau tidak. Jika iya, maka Karina akan lebih sukses buka restoran di SCBD. Jika tidak, ya pastinya akan bangkrut. Tapi setidaknya, barrier of entrynya tinggi kan. Intinnya, disbanding 360 restoran yang lain, Karina memiliki lokasi di SCBD yang mana lebih baik dari 300 resotran yang lain. Dengan memilih restoran di SCBD, dia sudah menyisihkan kompetisi jadi hanya 60 restoran saja. Resep dia akan menjadi penentu apakah dia bisa survive bersaing dengan 60 sisa restoran ini.

Contoh lain adalah skill yang unik. Contoh yang dapat kita lihat di bidang ini adalah jasa financial planning. Sampai tahun 2010-2011, jasa financial planning masih menjadi suatu jasa dengan skill yang unik. Itu sebabnya jasa financial planning yang ada, sangat sukses. Jalan 2012-2013, gue melihat sepertinya jasa financial planning sudah mulai banyak. Tingkat keunikannya sedikit berkurang melihat jasa ini mulai banyak yang nawarin. Meski demikian, setidaknya sampai saat ini, ilmu financial planning ini terlihat tinggi barrier of entrynya. Gak tau deh kalo nanti gimana. Yang jelas, financial planner yang ada sementara menikmati barrier of entry yang tinggi. Ini berarti sedikit pesaing. Ini berarti kemampuan untuk meng-quote harga yang lebih tinggi.

Contoh lain adalah network. Sebuah manajemen artis ABC lebih banyak diminati artis dari manajemen artis XYZ, karena manajemen artis ABC ini memiliki hubungan baik dengan semua rumah produksi. Lain halnya dengan manajemen artis XYZ yang hanya menjadi langganan 1-2 PH. Manajemen artis ABC ini tau bahwa network adalah asset mereka. Artis pun masih rela bahwa ABC bilang, sama kiota, komisinya 11%. Padahal manajemen artis XYZ hanya 10%. Artis akan mikir, ah, sudahlah, 1% lebih mahal tapi job yang gue bisa dapet bisa jauh lebih banyak. Sudahlah meski mahal, sama ABC aja.

 

Contoh Persaingan dengan Product Differentiation Yang Nyata

Contoh terbaik adalah adalah perusahaan travel. Cerita di balik perusahaan travel melibatkan kedua aspek, modifikasi produk dan barrier of entry.

Travel AAA hanya punya 4 mobil. Karenanya asetnya terbatas, maksimum dia punya jadwal berakngkat pukul 6, 10, 14, 18. Travel BBB, punya armada 8. Karenanya dia bisa memberikan jadwal keberangkatan tiap jam. Dalam konteks ini, jelas travel BBB punya produk yang beda dari yang lain. Tiap jam bok. Dan untuk menyaingi travel AAA itu susah, karena barrier of entrynya tinggi (duit/asset).

Eh ternyata nih, masuk competitor CCC dengan 8 armada 8. Hasil minjem di bank dan memberikan jadwal perjam juga. Tiba-tia barrier of entry Travel BBB hilang kan. Ada kompetisi. Travel BBB terpaksa memodifikasi produknya. Semua interior mobilnya dia overhaul, jadi jauh lebih nyaman. Travel BBB kembali menjadi favorit.

Eh ternyata travel CCC overhaul juga, plek ketiplek. Karena tidak susah untuk overhaul. Travel BBB berpikir keras mencari akal untuk memodifikasi produknya lagi. yang lain. Dia belajar dari riset bahwa orang dari Jakarta ke Bandung itu paling banyak dari Kemanggisan dan ingin ke Cihampelas. Maka untuk membuat produknya terdiferensiasi, travel BBB buka cabang di kemanggisan dan cihampelas. Begitu seterusnya.

 

Contoh lain adalah pengalaman gue menulis Jomblo di tahun 2003. Di tahun itu, toko buku didominasi buku sastra yang serius. Penerbit juga melihat bahwa pasar buku adalah XX juta pembaca, yang membeli lets say 20 judul buku sastra serius.

 

Kemudian gue datang dengan differentiated product. Dari 20 judul buku sastra serius, gue jual buku komedi. Ternyata gue laku. Karena buku gue, gue desain agar yang membeli adalah bukan XX juta pebuku. Tapi YY juta orang yang butuh hiburan. Ternyata, buku gue membuka mata banyak penerbit bahwa market buku itu, selain XX juta pembaca serius, ada juga YY juta pembaca hiburan. XX juta pembaca buku membeli 20 judul buku, YY juta pembaca buku beli buku gue. Jadilah gue best seller. Untuk beberapa waktu, gue menjadi penulsi yang beda. Yang menjual sebuah product yang differentiated.

Tapi kemudian para penerbit cepat tanggap dan mulai menerima penulis-penulis yang menghibur juga. Setelah 1-2 tahun, gue tidak lagi menjadi satu-satunya penulis komedi. Gue tidak lagi beda dari yang lain. Gue jadi punya saingan. Ya sudah, begitu saja. Gak apa-apa rejeki kan gak salah kasih ya. Everything is fair in this jungle. Itu lah kasus gue jika kita telaah dari segi marketing ya.

 

Pembelajaran:

  1. Ketika sebuah bisnis memiliki barrier of entry yang tinggi, saingannay semakin sedikit.
  2. Sebaiknya sebuah usaha memiliki product differentiation yang susah ditiru,
  3. Sebaiknya sebuah pengusaha memiliki product differentiation lebih dari 1, untuk menjamin business modelnya sulit ditiru.

 

So, jika elo mau sukses, jadilah orang yang beda dari yang lain. Jiak elo ingin jadi poengusaha yang sukses, pastikan kita punya produk yang beda. Dan bedanya gak hanya 1 level saja.

Rgds.

Tweet
3
Khasiat Fisik Puasa
Menarik Untuk Istri – Ngegym di FF

About the Author

admin

You Might Also Like

  • IMG-20151003-WA0021

    Tujuan Hidup

  • Types of Leaders

  • Be Wary

  • Fairness

  • sandi August 18, 2013 at 11:10 pm

    Seperti biasa, tulisan yang bagus kang.

    Tema ini memang selalu ditekankan para marketer2 dunia, berhubung pasar yang makin saturated. Produk/service yang gak punya diferensiasi bakal tertelan. Seth Godin juga selalu menekankan : “be remarkable or you’ll be invisible”.

    Thanks again kang tulisannya.

  • Mol August 19, 2013 at 1:50 am

    Posting yang bagus, kang. Sanget enjoyable dibaca oleh kalangan non-marketers :))

    Contoh lain yang keinget sama saya setelah baca ini mungkin booming-nya brand ponsel lokal (2007-2008). Di era segitu orang rame-rame beli ponsel dari RRC, di-rebrand, terus dijual di sini. Fitur dan dalemannya sih sama aja: dual SIM, TV tuner, desain ala ala brand yang udah established. Sebegitu banyak produk yang membanjiri pasar, sebagian besar ga ada yang ‘beda’. Sekarang kita lihat, berapa sih brand ponsel lokal yang masih bisa jualan? Bisa diitung jari. Sisanya ambruk satu per satu.

  • ibnumaroghi September 13, 2013 at 2:27 am

    Dengan tipoisasi yang tinggi, Kang Adhit bisa menjabarkan ilmu marketingnya dengan sangat baik. Makasi, Kang :)

Subscribe & Follow

Recent Comments

  • sibakua on Catatan Mahasiswa Gila – Preorder
  • noviyan darmawan on Swasembada di Indonesia
  • Arma on Swasembada di Indonesia
  • Nadya on Swasembada di Indonesia
  • Aswinda Utari on Sabtu Bersama Bapak Filming (3)

Categories

  • aldebaran
  • Arzachel
  • books
  • Events
  • finance
  • gua
  • humor
  • islam
  • istribawel
  • kids and parenting
  • life
  • love
  • Mencari sesuap nasi (halaaaah)
  • movies
  • politics
  • product review
  • project
  • Short Stories
  • social
  • studies
  • travel
  • Uncategorized
  • work

Archives

Made with in Seattle

© 2013 Solo Pine Designs, Inc. All rights reserved.